Angin dan Badai Mengantarkan Paquita Widjaya Kepada Islam
Paquita Wijaya, itulah namaku. Sejak lahir aku memeluk agama Kristen Protestan. Kesempatan pernah mengenyam pendidikan Barat di Parsons School of Design New York, membuat cara berpikirku sangat rasional. Apalagi aku dibesarkan dalam kultur keluarga yang demokratis. Termasuk dalam menyikapi agama. Namun setelah rasioku ditundukkan oleh kenyataan bahwa kekuasaan Allah itu benar ada, aku pun bersyahadat dan masuk Islam.Sudah lama aku tertarik dengan Islam. Kupikir, ini agama yang paling rasional. Perlahan, aku tertarik dengan ritual Islam yang dijalankan Tanteku, seorang muslimah yang sempat tinggal bersama keluargaku. Tapi hingga suatu saat aku suting di pulau Nias, Sumatera Utara, aku belum juga memeluk Islam.
Inilah awalnya.... Pulau Nias tiap hari diguyur hujan lebat, disertai angin dan badai. Dua bulan tim kami terperangkap di pulau itu. Tak ada pesawat yang berani terbang di tengah cuaca buruk. Padahal, aku harus segera ke Jakarta.
Kepada teman-teman aku bilang, "Kalau hujannya berhenti, aku akan sholat." Pernyataan itu muncul spontan. Eh, tiba-tiba saja hujan berhenti. Sungguh menakjubkan. Hujan sederas itu benar-benar berhenti sama sekali, dan cuaca langsung cerah.
Akupun bisa tiba di Jakarta tanpa kesulitan. Walaupun aku berulang-ulang ditunjukkan 'sesuatu' yang sebelumnya tidak kupercayai, toh aku tidak langsung masuk Islam. Rasioku berkata, "Bukankah semua itu terjadi karena kebetulan saja." Hari-hari pun berjalan lagi. Membuat musik, mengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) serta rutinitas lainnya. Namun sejak itu aku kerap memimpikan hal yang menurutku aneh. Misalnya aku mimpi bertemu, bersapa-sapa dengan ayah temanku yang sudah meninggal.
Meski aku mengenalnya dengan baik, menurutku ini agak aneh. Yang paling seram, aku mimpi dicekik berkali-kali, sampai sesak nafas tanpa bisa berbuat apa-apa. Gara-gara itu, tiga hari aku tak berani memicingkan mata.
Kutemui teman-temanku yang muslim. Kutanya mereka tentang cara ampuh mengusir mimpi buruk. "Surat apa yang kamu hafal?" tanya mereka, sambil menyebut beberapa nama surat dari Al-Quran. Kujawab, "Kecuali Al-Fatihah, tak ada yang lain." Lantas mereka menyuruhku membaca Al-Fatihah tujuh kali menjelang tidur. Sungguh, sejak saat itu aku tak mimpi aneh-aneh lagi.
Lain waktu aku bermimpi didatangi banyak orang. Mereka minta bantuanku. Ingin sekali aku menolong mereka tapi tidak berdaya. Tahu-tahu, dalam mimpi itu seperti ada yang menggerakkanku untuk sholat, hal yang sebelumnya tidak pernah kulakukan. Entah bagaimana, setelah sholat, aku jadi mempunyai kekuatan menolong orang-orang malang tadi. Dan ada kelegaan sesudahnya.
Akhirnya aku sampai pada suatu perasaan kekeringan hati. Dalam agamaku saat itu, aku tak merasakan suatu spirit. Katakanlah keimanan. Aku teringat saat-saat aku mengikuti tanteku berpuasa di bulan Ramadhan, saat itu aku masih seorang Kristen. Tapi pengalaman batin yang kurasakan sungguh istimewa.
Demikian pula pengalaman batin yang kurasakan saat pelan-pelan aku mulai lancar melafalkan Al Fatihah, karena kerap menyaksikan Tanteku menunaikan Sholat. Aku pun sampai pada kesimpulan yang bulat. Iman Islam inilah yang mengantarkanku pada sebuah kedamaian batin. Kesejukan iman Islam ini menyirami jiwaku.
Dua tahun kujalani proses perenungan itu, akhirnya aku mengikrarkan keIslamanku di sebuah masjid kecil di Jalan Kenari. Di hadapan seorang ustadz, kenalan seorang teman. Saat kuucapkan dua kalimat syahadat, aku tak mengalami kesulitan.
Selesai bersyahadat, hatiku lega. Hari-hari selanjutnya, semakin intens aku memperdalam Islam lewat buku karena aku tak sempat ke pengajian. Selain itu, aku juga belajar dari ibu pacarku yang memang seorang mubalighah di Solo.
Semula orang tuaku mengira aku masuk Islam lantaran pacarku, yang kebetulan seorang muslim. Demi menjaga niat keIslamanku, aku putus dengan pacarku ini. Hingga akhirnya aku menikah dengan seorang muslim lainnya. Ia pun rajin beribadah. Melihat dia sholat, rasanya hati ini senang tak terperi. Aku bangga memilih dan dipilih menjadi muslimah.